Kondisi kebutuhan energi yang semakin meningkat berbanding terbalik dengan sumber energi tak terbarukan yang malah semakin menipis, maka perlu dilakukan pengembangan sumber energi terbarukan. Mencermati kondisi demikian, Pakar energi fuelcell BPPT, Eniya Listiani Dewi telah mengembangkan biohidrogen yang merupakan sumber energi di masa depan yang berasal dari biomassa.
“Kenapa melirik biomassa?,” menurutnya Eniya saat diwawancarai di ruang kerjanya (14/9), masa depan hidrogen tidak melulu harus dihasilkan dari gas alam, minyak atau batu bara atau sumber daya lain yang masih belum terbarukan. Saat ini sudah waktunya kita mengarah ke biohidrogen yang berasal dari sumberdaya tipe renewable terutama biomassa.
“Hidrogen selama ini masih mahal karena kebanyakan berasal dari gas alamsehingga dianggap bukan enerrgi terbarukan,” tambahnya. Karena itu Ia mencari sumber lain yang berasal dari limbah pertanian atau biomassa dengan metode fermentasi menjadi ekstrak gliserol dan menghasilkan gas hidrogen, dimana proses menjadi hidrogen dilakukan oleh enzim bakteri ADH-45.
Eniya menjelaskan dari kapasitas reaktor 40 liter dapat dihasilkan 720 liter gas hidrogen per jam dengan kemurnian 99 persen. Reaktornya pun sudah di patenkan dan 100% TKDN. Namun, lanjutnya, reaktor tersebut masih akan terus disempurnakan untuk biohidrogen skala besar.
Chia University (FCU) Taiwan telah menyambut baik dan mendukung riset tersebut dengan menghibahkan The Mini Demo BioH2 System ke BPPT yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi Taiwan. Pihaknya sudah mengembangkan skala besar sekitar 25 ton untuk menghasilkan hidrogen yang nantinya sudah bisa disimpan dan dibuktikan untuk mobil fuelcell kecil.
“Kunjungan FCU Taiwan ke BPPT (12/9) merupakan langkah awal ketertarikan Taiwan untuk mencoba dengan substrat yang lain, seperti limbah kelapa sawitatau dengan berbagai resource yang ada di indonesia namun tidak ada di Taiwan,” kata Eniya. Saat kunjungan dari pihak FCU dihadiri oleh Shen-Da FUH Program Director, Dept. of International Cooperation, National Science Council, Taiwan, Chen-Yeon CHU Assistant Professor, Chief in International Cooperation Division, Green Energy Development Center dan Hoang-Jyh Leu Assistant Professor, Chief in Research Affairs Division, Green Energy Development Center.
Saat kunjungan, lanjutnya, telah dibicarakan mengenai MoU sebagai langkah selanjutnya. “Dalam waktu dekat kedua belah pihak akan mengadakan MoU mengenai kerjasama penelitian dan pengembangan teknologi hidrogen dan pemanfaatannya. Fokus kerjasama untuk pengembangan pilot plant, dan target ke depannya akan combine model milik BPPT dan FCU menjadi suatu model baru dan nantinya akan menjadi milik kita,” terangnya.
“Saya ingin mengindustrialisasikan fuelcell di Indonesia sehingga industri lokal bisa buat fuelcell. Selama ini hidrogen masih berasal dari gas, fosil atau bahan baku yang belum clean. Sehingga dengan biomassa kita bisa menuju ke renewable hydrogen,” ungkapnya. Namun, menurutnya Indonesia masih lemah dalam memproduksi hidrogen dan belum bisa untuk menstorage. Sebaliknya di Taiwan sudah mampu memproduksi banyak hidrogen dan di storage.
Dalam paparannya, Eniya menjelaskan selama ini secara konvensional kalo biomassa menghasilkan metan lalu dibakar untuk menggerakan steam turbin untuk menghasilkan listrik. Berbeda dengan prototipe tersebut yang pengolahannya lebih singkat. Limbah biomassa diolah dengan menggunakan mikroba bakteri dalam satu reaktor untuk menghasilkan hidrogen. Lalu dikonversikan menjadi listrik melalui generator fuelcell.
“Dampak positifnya tidak ada emisi yang keluar sehingga ramah lingkungan,” tegasnya. Namun kendalanya, harus memperhitungkan dan menstudi daerah mana yang mempunyai biomassa banyak dan supplynya continue terus menerus. Saya menekankan Indonesia sangat berpotensi karena kita punya biomassa yang sangat banyak.
Eniya menegaskan keinginannya untuk membuat hidrogen dari renewable resources dengan memanfaatkan sumber daya alam di Indoensia yang belum termanfaatkan. “Ke depannya, Industri Indonesia harus lebih bergairah untuk memikirkan green technology yang selaras dengan prestige. Saya yakin, industri juga akan melirik teknologi-teknologi yang berbau green. Indonesia sudah berkemampuan untuk manufacturing fuelcell itu juga sudah nilai plus dan saat ini masih tahap inkubasi untuk membuat industri fuelcell,” tutupnya. (KYRAS/humas)
Sumber gambar: mundowebanimal.blogspot.com